Quotes

“Ada banyak bahasa dalam sebuah sistem yang sempurna. Itu lah yang membedakan antara ‘menikmati’ dan ‘mempelajari’ — Andes

“Instagramable”

Seringnya saya merasa, apa saya yang terlalu berlebihan dalam memaknai sesuatu?

Jika keindahan alam hanya jadi ajang untuk memenuhi akun media sosial atau sekadar check point dari sebanyak apa tempat yang sudah dikunjungi, maka itu sangat menyedihkan.

Maaf, mungkin saya agak tendensius. Tapi ini bener-bener meresahkan.

Seperti di satu hari, saya pergi ke satu tempat. Alam terbuka. Di sana banyak orang; pemuda-pemudi sebaya. Dari semua orang yang ada, nggak ada yang nggak sibuk ambil foto. Bukan foto landscape lokasinya, tapi selfie dan wefie di mana-mana. Sampai-sampai nggak respect sama orang lain, pokoknya yang penting bisa foto selfie di alam dan upload.

Ada dalam kondisi kayak gitu saya jadi bingung sendiri. Saya sangat tidak suka difoto apalagi selfie. Ditambah lagi nggak ada ruang untuk menikmati alam. Saya duduk di tanah dan memperhatikan. Lantas merasa sedih, karena di sekeliling kami ada gunung-gunung yang melingkupi, langit luas yang menudungi, matahari, awan dan pepohonan hijau. Tapi manusia hanya menjadikan itu semua sekadar background foto diri. Padahal Allah berfirman dalam Al-Quran bahwa itu semua adalah tanda-tanda kekuasaanNya.

Fenomena seperti ini bagi saya pribadi sangat menyedihkan, ketika manusia hanya bisa melihat alam sebagai pemuas nafsu eksistensinya. Lantas mengklasifikasikannya dengan rating ‘recommended’, ‘instagramable’, ‘juara’, ‘biasa aja’ dan sejenisnya. Sementara maksud hakiki dari keberadaan alam semesta sebagai jalan keimanan dengan mengenal tanda-tanda Allah jauh dari dipahami.

Demi eksistensi tersebut, berbagai macam pelajaran berharga tersampingkan, seperti; menguatkan keimanan kepadaNya, Menghargai ciptaanNya, menyayangi sesama makhlukNya.

Mungkin saya berlebihan, tapi saya yakin kehidupan ini bukan untuk main-main. Sudah saatnya melihat dengan jelas. Meyakini satu kebenaran. Apa yang terkesan natural saat ini sebenarnya ada dalam kemasan materialistik. Dan karenanya manusia lalai dari hakikat hidupnya.

Dilematika Gunung Emas

Siapa yang tak tahu Papua, pulau paling timur Indonesia yang melejit namanya karena sebuah perusahaan tambang raksasa.

Ada tiga sudut pandang yang bisa diamati; sisi tuan rumah dan sisi para pendatang juga sisi penguasa negeri. Dilema kekayaan yang berharga lebih dari $77 milyar ini, berawal dari gunung tembaga yang menjulang lebih dari tiga juta tahun. Tuan rumah atau dalam hal ini penduduk pribumi adalah sekelompok pengembara yang berburu di lembah-lembah, mereka mengenal kekayaan wilayahnya tapi tidak bisa bertahan lama di wilayah pegunungan karena suhu udara yang rendah. Para pendatang menyebut tuan rumah dengan sebutan orang Papua.

Salah satunya adalah seorang geolog Belanda, bernama Jean Jacques Dozy menaruh perhatian lebih pada satu wilayah yang ada dalam peta ekspedisi pendakian Cartensz. Ia memberi nama gunung itu dengan nama Grasberg dan saudaranya dengan nama Ertsberg. Diambil beberapa batuan untuk diteliti dan ditemukanlah kandungan tembaga kadar tinggi pada batuan Ertsberg.

Jurnal milik Dozy tahun 1939 soal dua gunung berbentuk unik di timur Nusantara ini tidak mendapat perhatian lebih karena pecahnya Perang Dunia II, hingga akhirnya seorang manager eksplorasi Freeport Sulphur, menemukan laporan Dozy pada perjalanannya ke Eropa pada akhir 1950-an. Itu menjadi magnet awal kedatangan sebuah perusahaan tambang raksasa ke tanah Papua….

Referensi : buku “GRASBERG” karya George A. Mealey oleh Freeport-McMoran Copper & Gold

Quotes

“Hidup itu sederhana; kau hanya harus pandai membaca tanda.” — Hamdani Argapraja

Pagi

Pagi,

Menyapa seperti biasanya

Sepi, tak berbeda

Tak ada teman bicara.

Hanya saja,

Ada yang berbeda dengan pagi ini

Ada kata yang menggantung, henti tak terucap

Ketika kulihat dia

dan aku hanya tenggelam dalam kelu

Berharap dia mengerti

Diamku, bungkamku.

 

Bukan ku jenuh bicara dengan mentari

Namun terkadang aku berharap lebih dari mencari

Serangkai kata, segelak tawa

Bukan duduk melihat langit,

Seakan waktu tak mengizinkanku bangkit

Tertutup gugupku sendiri

Menjadi saksi dari aku yang terpaku di sini

Menunggu jumpamu, berani menyapamu

Namun aku tetaplah diriku

Setiap pagi, tak ada beda

Pagi ini, pun esok hari

*dari “PAGI” karya montasound (WisnuSaputro & Partang)

Pagi

song & music by : (montasound) Wisnu Saputro & Partang

Terasa berjuta, terasa lama

Terasa sudah lupa

Namun tadi tatapan mata berbicara

Kamu terlihat berbeda

Tergurat, teringat dalam benak

Sesosok bayangan t’lah hilang

Dirimu kini terasa lebih

Lebih mengenal dirimu sendiri

Hari ini

Dari sekian waktu yang kita lewatkan

Dari beribu kata yang kulewatkan

Ini terasa lebih

Dan kamu di sana berdiri menatap

Aku di sini menunggu isyarat

Kamu di sana melangkah menjauh

Aku di sini… jenuh

Ku rindu pagiku

Kamu, pagi bersamamu

Aku rindu.

Perjalanan Bagi kita….

Untuk kisah perjalanan tahun lalu….

Perjalanan bagimu….

IMG_20150623_204129

“Mungkin perjalanan bagimu adalah langkah-langkah tanpa rencana yang membawamu pada suatu tempat di mana kau bisa menikmati desiran angin layaknya alunan musik yang kau suka. Bertemu siapa saja yang bisa kau ajak melangkah bersama dan sesekali terjatuh untuk tahu seberapa tangguh dirimu. Untuk kau nikmati sendirian, atau membaginya pada siapa saja yang senang mendengar kisah. Juga menjadi titik awal untuk pulang kembali, dan meyakinkan diri agar jauh lebih baik lagi, esok hari.”

*inspired by Wisnu Saputro (Telaga Warna, 2015)

 

Perjalanan bagiku….

IMG_20150426_143652.jpg

“Dan perjalanan bagiku adalah kesempatan langka untuk melihat hitam dan putihnya dunia, yang akan kupelajari layaknya membaca buku-buku yang kusuka. Akan kucari keping-keping makna dalam setiap langkah, dan kujadikan serangkai kata berbalut suasana. Lalu kubagikan kepada siapa yang rindu akan makna sebuah perjalanan sederhana. Hingga kusadari bahwa aku bukanlah sesiapa yang berhak menengadahkan dagu di manapun aku berada.”

*late post (Yoyogi Park, Japan, 2015)

Randu Merindu

IMG_20150511_190541.jpg

Randu Merindu

“Pada satu ranting kering, cerita bermula. Tentang angin yang menerbangkan daun-daun dari sebatang pohon di tepi pematang sana. Dengan bilah-bilah berjelaga yang tak teperhatikan siapa yang punya mata. Setetes hujan menjadi primadona. Layaknya permaisuri tersohor dari negeri-negeri impian yang kecantikannya terdengar hanya melalui telinga.”

“Datanglah! Kemarau tak juga mau mengalah! Tanah-tanah tak sanggup lagi menyangga walau hanya sebatang tak berharga. seperti aku yang selalu mengharapkanmu. Mengharap kedatanganmu mampu mengusir semua jelaga. Menjadikanku yang tergagah di tepi pematang sana.”

“Namun, angin mengubah cerita. Pikiranku mengembara, tetapi raga diam saja. Aku tak bisa mengharapkanmu. Karena aku hanyalah Randu, yang hanya bisa merindu.”

*late post (Karuizawa-Japan, 6 Mei 2015)

Dilematika Men’cintai’ Budaya ala Faisal Oddang

Nilai-nilai adat dan tradisi; Siapa yang tidak pernah merasa dilema dengan perihal satu itu. Terlebih Indonesia yang menjadikan budaya dan nilai tradisi menjadi salah satu tonggak penting dari identitas negeri. Bagi masyarakat urban, penerapan nilai tradisi kerapkali terkikis oleh nilai-nilai yang bersifat lebih universal, namun tak sedikit juga masyarakat yang masih memegang teguh nilai tradisinya.

Pertanyaan Kepada Kenangan hadir untuk menyoroti permasalahan adat yang seringkali berbenturan dengan keinginan pribadi. Faisai Oddang menawarkan salah satu tradisi yang dianut oleh masyarakat Toraja sebagai jantung kisahnya. Tradisi Rambu Solo, yang oleh masyarakat Toraja diyakini sebagai upacara kematian untuk menghantarkan arwah menuju dunia selanjutnya,menuju tempat abadi, dibawakan cukup kental dalam cerita.

img_0102

Pemilihan tradisi Rambu Solo mewujudkan kisah yang menarik sekaligus sangat paradoksal. Upacara kematian yang penuh dengan nuansa sakral dan duka ini dipercaya tidak boleh didahului oleh perayaan bahagia apapun. Faisal Oddang mampu meraciknya, memadukan dengan apik dalam kisah cinta antara Rinai, Lamba dan Wanua.

Kedukaan yang bersanding dengan kebahagiaan, dan melahirkan kebimbangan. Itulah paradoksnya.

Saya pribadi sangat menyukai kisah yang kental dengan nuansa ke-Indonesia-an, dan Pertanyaan Kepada Kenangan  merupakan salah satu dari seri Indonesiana yang digagas oleh GagasMedia mampu membawa aroma Nusantara yang segar. Kisahnya sederhana, namun sangat emosional. Hingga kebimbangan Rinai bisa saya rasakan sampai detik-detik akhir kisah.

Adalah Rinai, seorang reporter yang ditugaskan meliput Toraja. Pernah mengalami kekecewaan cinta terhadap seorang lelaki yang berencana menikahinya; Lamba. Kisah cinta mereka diwarnai oleh Wanua, lelaki serampangan yang tulus sebagai seorang sahabat, pun seorang pecinta.

Rinai, Lamba dan Wanua adalah cerminan dari manusia yang bergelut dengan hatinya ketika nilai-nilai adat yang dipegang teguh oleh masyarakat harus berbenturan dengan pandangan dan keinginan pribadi. Menyoroti itu, banyak juga tradisi dari daerah lain yang juga berujung sama. Bagaimana Rinai menyikapi hal itu? Ketika masa lalunya berusaha membangun kisah baru, sementara di sisi lain ia mulai mengakui cinta baru yang terlambat ia sadari?

Kebimbangan membuat Rinai tidak bisa tegas kepada dirinya sendiri. Di balik penampilannya yang santai, ia menunjukkan kelemahan dari sisi emosionalnya. Kemunculan seseorang yang telah membuatnya kecewa soal cinta, menenggelamkan Rinai dalam keping-keping kenangannya sendiri. Sementara sang kekasih, yang terbentur dengan tradisi, pun harus merelakan cintanya tertunda lama demi pakem budaya. Ketika keping-keping kenangan yang seharusnya bisa terajut kembali dengan indah, keraguan pun muncul dengan pengakuan akan cinta yang terpendam lama.

Rinai tenggelam dalam masa lalunya, sekaligus harapan di masa depan.

Lalu bagaimana kenangan menjawab kebimbangan Rinai?

Faisal Oddang memberikan kebebasan kepada pembaca untuk menemukan jawaban dari kenangan Rinai. Sekali lagi, secara emosional karakter Rinai sangat terbangun. Membuat pembaca (khususnya saya sendiri) ikut bimbang sejak awal, tetapi merasa lepas dan lega saat akhirnya. Sedikit bocoran saja, jika saya adalah Rinai, maka saya pun akan memeluk orang sama.

Maka temukan jawabanmu sendiri dalam Pertanyaan Kepada Kenangan. Nikmati kenangan Rinai yang merindu di Tana Toraja!

CarooXAWcAA_oTk

Pertanyaan Kepada Kenangan karya Faisal Oddang

Dan ikuti juga ulasan host-host untuk buku seri Indonesiana lainnya dalam One Book One Day . Nikmati kisahnya, bersua dengan pada host dan penulis-penulisnya. Catat tanggalnya, karena ada giveaway dari GagasMedia!

indonesiana one book one day

 

 

Rakata dan Rinjani -Vilda Sintadela

Dua tahun lalu, di kereta ekonomi saat saya dalam perjalanan menuju Yogyakarta, saya membayangkan bertemu seorang lelaki yang tengah berada dalam perjalanan jauh. Seorang lelaki yang mencari jati diri, juga berdamai dengan masa lalunya.

Lalu saya tuliskan kisah itu, menjadi sebuah buku…

BUKUNE_rakata rinjani_002 rev.jpg

Rakata dan Rinjani menyimpan banyak impian saya tentang perjalanan. Kisah yang sederhana, namun penuh kenangan. Nikmati kisah pertemuan mereka, dalam bingkai kenangan di kota Yogyakarta.